Jumat, 01 Juni 2012

TEKNIK PEMBENIHAN KERAPU TIKUS


I.  PENDAHULUAN

1.1.     Latar Belakang

     Ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) merupakan komoditas perdagangan internasional yang harganya mahal dan permintaannya tinggi. Namun sebagian besar produksi ikan kerapu di indonesia adalah hasil dari tangkapan alam yang menggunakan bahan peledak atau racun (potasium sianida) sehingga akan merusak kelangsungan hidupnya dan menyebabkan kepunahan. Berkat potensinya yang cukup besar  telah menjadikan ikan kerapu sebagai salah satu komoditas unggulan nasional.
              Kerapu tikus adalah jenis ikan karang yang hanya hidup dan tumbuh cepat di daerah tropis. Ciri khas terletak di bentuk mulutnya yang moncong dan rasa daging ikan kerapu tikus sangat lezat sehingga banyak orang menyukai daging ikan kerapu ini.
            Kini usaha budidaya ikan kerapu di indonesia semakin meningkat tetapi untuk memenuhi kebutuhan benih masih terbatas sehingga usaha pembenihan ikan kerapu perlu lebih dikembangkan. Penguasaan tenik pembenihan ikan kerapu dapat dikuasai, akan tetapi yang sering menjadi kendala dalam usaha pembenihan ikan kerapu adalah masalah modal dan biaya operasional kerja yang cukup besar. Sehingga perlu di upayakan jalan keluar oleh pemerintah khususnya bidang perikanan agar pembenihan ikan kerapu tikus dapat di budidayakan oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia dan dapat menambah pendapatan devisa negara (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).
1.2.   Tujuan
Tujuan dari praktek kerja lapang IV ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pembenihan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang diterapkan di Balai Besar Pengembang Budidaya Air Payau (BBPBAP), Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah meliputi :
·      Teknik pemijahan.
·      Perbandingan jumlah induk jantan dan betina yang akan dipijahkan.
·      Jumlah telur yang dihasilkan.
·      Jumlah telur yang menetas (HR).
·      Jenis penyakit yang ditemukan.
·      Tingkat kehidupan (SR).
















II.    TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Biologi Ikan Kerapu Tikus
 2.1.1. Klasifikasi Ikan Kerapu Tikus
               Klasifikasi Ikan Kerapu Tikus Menurut (Subyakto dan Cahyaningsih 2003)  adalah :
Filum                : Chordata
Subfilum           : Vertebrata
Kelas                : Osteichtyes
Subkelas          : actinopterigi
Ordo                 : Percomorphi
Subordo           : percoidae
Family              : Serranidae
Subfamily        : Ephinephelinae
Genus              : Cromileptes
Spesies            : Cromiileptes altivelis
2.1.2. Morfologi Ikan Kerapu Tikus
               Kerapu tikus (Cromileptes altivelis) memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal (anus), sirip pektoral (dada), sirip lateral (gurat sisi) dan sirip caudal (ekor). Selain sirip dibagian tubuhnya terdapat sisik yang berbentuk sikloid. Ketebalan tubuh sekitar 6,6 - 7,6 cm dari panjang spesifik dan panjang tubuh maksimal mencapai 70 cm. Ikan ini memiliki gigi canine (gigi yang terdapat pada rahang ikan). Lubang hidung besar berbentuk bulan sabit vertikal. Kulit berwarna abu-abu kehijauan dengan bintik-bintik hitam diseluruh tubuh (Akbar dan Sudaryanto 2001).
2.1.3. Habitat
Menurut (Akbar dan Sudaryanto 2001) ikan kerapu tikus daerah penyebarannya di mulai dari Afrika timur sampai Pasifik barat daya. Di indonesia sendiri kerapu tikus banyak di temukan di perairan pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi dan Ambon. Dalam siklus hidupnya kerapu tikus dapat hidup di perairan karang yang kedalaman airnya 0,5 m – 3,0 m. Kerapu tikus muda dan larva banyak terdapat di perairan pantai dekat muara sungai dengan dasar perairan berupa pasir berkarang yang banyak di tumbuhi padang lamun. Menginjak masa dewasa ikan bermigrasi ke periran yang lebih dalam antara 7,0 m – 40 m. Perpindahan ikan kerapu biasanya berlangsung pagi atau sore hari, telur dan larva bersifat pelagis sedangkan kerapu muda hingga dewasa bersifat demersal.
2.2.   Lokasi Pembenihan
2.2.1. Persyaratan Lokasi Pembenihan Ikan kerapu Tikus
              Persyaratan lokasi pembenihan ikan kerapu menurut (Subyakto dan Cahyaningsih 2003) yaitu :
   1.    Letak unit pembenihan harus berada di tepi pantai untuk memudahkan   perolehan sumber air laut.
    2. Letak pantai tidak terlalu landai dengan kondisi dasar laut yang tidak berlumpur dan mudah dijangkau agar trasportasi lancar.
    3. Memiliki bangunan hatcheri indoor (dalam ruangan) dan semi out door (beratap tanpa dinding), untuk  tempat melakukan kegiatan pembenihan.
    4. Salinitas air laut 28 – 35 ppt dan kondisinya harus bersih dan tidak   tercemar.
      5.  Sumber air laut dapat dipompa minimum 20 jam/hari.
      6.  Tersedianya sumber air tawar
        7.   Tata letak bangunan pembenihan perlu direncanakan dan dibuat  sedemikian rupa agar efisien, praktis dan memudahkan dalam bekerja.
2.2.2. Sarana  dan Prasarana Pembenihan
            Beberapa sarana pembenihan yang harus dipersiapkan menurut (Subyakto dan Cahyaningsih 2003) antara lain:
   1. Bak pembenihan
          Bak pembenihan adalah bak yang dipergunakan untuk proses pemijahan induk kerapu tikus. Bak ini terbuat dari semen atau fiberglas yang dibangun di darat. Bentuknya sebaiknya bulat agar memudahkan pembuangan kotoran, ditengah bak dibuat lubang pencucian berdiameter 3,8 – 5 cm. Dasar bak dibuat miring sekitar 50 ke arah lubang pencucian.
       Selain lubang pencucian, bak ini dilengkapi dengan bak pemanenan telur yang ditempatkan di ujung pipa pengeluaran air. Pipa pegeluaran air ini terletak sekitar 20 cm di bawah permukaan bak agar  pengumpulan telur menjadi mudah, sirkulasi air media lebih sempurna dan pengeluaran kotoran lebih cepat.
2. Bak pemeliharaan larva
            Bak pemeliharaan larva dapat terbuat dari fiberglas atau bak yang terbuat dari batu bata  yang disemen (cor). Dinding bak dan bagian dasar bak harus benar – benar halus agar pada saat bak kotor mudah dibersihkan dan tahan lama.
           Ukuran volume pada bak larva 8 -10 m3 dan bentuknya lonjong atau persegi empat dengan perbandingan panjang dan lebar 3 : 2, dengan kedalaman bak 1 – 1,25 m. Kemudian untuk sudut bak larva harus berbentuk oval agar mempermudahkan pergerakan larva.
3. Bak kultur pakan alami
            Bak kultur pakan alami atau biasa disebut bak plankton sebaiknya terbuat dari pasangan batu bata yang di semen dengan volume 8 – 10 ton. Jumlah bak plankton harus disesuaikan dengan kebutuhan, kemudian penempatan bak kultur pakan alami harus dipisah dari bak yang digunakan untuk pembeihan hal ini dilakukan untuk menghindari kontaminasi dan bak kultur harus ditempatkan di ruangan terbuka (out door) yang intensitas penyinaran cahaya matahari cukup besar.
4. Instalasi pengadaan air laut
             Air laut adalah kebutuhan pokok dalam kegiatan pembenihan. Secara fisik air laut yang digunakan harus jernih, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak membawa bahan endapan suspensi. Instalansi air laut terdiri dari pompa air, pipa penyedot air, filter dan pipa distribusi air ke unit produksi.

5. Bak penampungan air (Feservoir)
            Bak penampungan air laut adalah bak yang dipergunakan untuk menampung air laut yang diambil dari laut melalui pipa penyedotan yang akan didistribusikan ke bak pembenihan. Dasar bak penampungan diberi pasir yang berguna sebagai filter pasir. Kapasitas bak penampungan air laut 20% - 30% dari total volume bak larva dan bak kultur plankton. Bak penampungan memiliki beberapa keuntungan yaitu :
a.  Air dapat di distribusikan secara merata ke bak pembenihan.
b.  Dapat melakukan sterilisasi air, terutama dengan menggunakan bahan kimia sepeti kaporit.
c.  Menghindari terbakarnya elektro pompa akibat pemakaian air yang tidak seimbang antara saluran pemasukan (inlet) dan peneluaran (outlet).
6. Instalasi sistem aerasi
            Aerasi merupakan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan oksigen terlarut. Supaya kebutuhan oksigen dapat terpenuhi sesuai kebutuhan maka jaringan instalansi harus di rencanakan dan dipasang dengan baik. Alat yang dipergunakan Dalam sistem aerasi yaitu Blower dengan kapasitas 200 watt dan jumlahnya dapat disesuaikan dengan kapasitas bak yang akan dioperasionalkan.
7. Tenaga listrik
            Ketersediaan tenaga listrik mutlak diperlukan dalam suatu usaha pembenihan. Tenaga listrik sangat dibutuhkan untuk penerangan, operasional pompa air, blower dan peralatan lainnya. Oleh karena itu, aliran listrik harus tersedia selama 24 jam.
9. Peralatan lapanganan
       Peralatan lapangan adalah peralatan yang dipergunakan sehari – hari    untuk kelancaran operasional, seperti selang plastik, pipa sifon, ember, gayung plastik, seser, lampu TL untuk penerangan pada bak saat malam hari, saringan panen rotifera dan artemia serta peralatan grading dan panen.
2.3.  Teknik Pembenihan
2.3.1.  Persiapan Bak
          Bak yang akan digunakan untuk pembenihan harus dibersihkan dengan menggunakan kaporit sebanyak 100 – 150 ppm. Setelah itu dibilas dengan air tawar dan dikeringkan selama 1 – 2 hari, kemudian diisi air (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).
2.3.2.  Pengisian Air
          Air laut yang digunakan untuk pembenihan di ambil dari bak penampungan air laut dan dimasukan ke bak – bak pemeliharaan dengan menggunakan pipa atau selang yang diberi spon atau kain (filter bag) yang diikat pada ujung pipa atau selang hal ini dimasudkan untuk menyaring air yang akan diisikan ke bak – bak pembenihan untuk menghindari masuknya  organisme renik laut. Salinitas air laut yang akan digunakan idealnya 28 – 35 ppt dan suhu airnya  minimal 320C. Volume pengisian air ke bak berkisar 5 – 7 m3 atau minimal separuh dari total volume bak (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).
2.3.3.    Seleksi Induk
          Induk yang akan dipijahkan harus diseleksi terlebih dahulu. Induk kerapu tikus yang akan dipijahkan biasa berasal dari alam atau hasil budidaya, induk yang ditangkap dari alam harus dipilih yang sehat dan dipastikan penangkapanya dari alam tidak menggunakan bahan kimia. Perbedaan induk jantan dan betina dapat dilihat dari penampakan tubuhnya, dimana pada bagian perut induk betina lebih besar sedangkan induk jantan lebih ramping. Berat total induk betina minimal 1 kg dan induk jantan 2,5 kg. Induk yang digunakan untuk pemijahan adalah induk yang matang gonad, tidak cacat dan sehat (Akbar dan Sudaryanto 2001).
2.3.4.    Proses Pemijahan
Menurut  Akbar dan Sudaryanto (2001) proses pemijahan ikan kerapu Tikus ada dua yaitu pemijahan buatan dan alami antara lain yaitu :
1.   Pemijahan buatan
Pemijahan secara buatan sangat ditentukan oleh kematangan gonad. Langkah awal adalah pemilihan induk, induk yang siap dipijahkan yaitu induk yang matang gonad. Induk terlebih dahulu dibius dengan menggunakan obat bius ethyleneglyglycol monophenylether dengan dosis 100 ppm atau menggunakan minyak cengkeh dengan dosis 50 ppm.
Pemeriksaan kematangan gonad pada induk betina dilakukan dengan metode kanulasi yaitu dengan memasukan metode kanula atau kateter berdiameter 1 mm ke dalam lubang genital sedalam 5 -10 cm lalu telur dihisap. Setelah itu selang kanula dicabut secara perlahan. Dari hasil pengamatan telur yang siap dipijahkan harus berdiameter minimal 450µ.
       Pada induk jantan pemeriksaan kematangan gonad dilakukan dengan stripping. Metode ini dilakukan dengan mengurut bagian perut ikan ke arah lubang genetikal agar keluarnya sperma secara berlebihan dapat dihindarkan karena keluarnya sperma berlebihan dapat merusak organ dalam. Sperma yang baik berwarna putih susu dan kental. Untuk pemijahan buatan ini perbandingan induk jantan dan betina sebaiknya 1 : 1.
2.   Pemijahan alami
Pemijahan alami dilakukan dengan menjadikan tempat pemijahan seolah – olah menjadi alami. Keuntungan pemijahan alami kualitas telur lebih baik, efisien, dan aman. Pemulihan dan pematangan kembali dari induk bisa teratur tidak membutuhkan hormon serta hanya telur dan sperma yang matang saja yang dikeluarkan. Pada sistem manipulasi lingkungan dilakukan kegiatan penjemuran air yang dilakukan siang dan sore hingga permukaan air turun hingga 40 – 50 cm, pada sore hari volume air ditambah dengan dialiri air sepanjang malam dan suhu pada air akan naik turun 2 - 50 C. Suhu sangat mempengaruhi proses reproduksi karena suhu diterima oleh suhu termosensor akan dilanjutkan ke otak (ke kelenjar hipothalamus dan condo spinalis) sehingga menghasilkan hormon GNRH dan LHRH. Hormon GNRH  dan LHRH Menghasilkan  hormon HCG yang dapat merangsang sistem reproduksi.
Pengeringan dan pengaliran air dilakukan mulai awal gelap bulan yang jatuh pada tanggal 20 menjelang waktu musim terang bulan. Ikan kerapu tikus  memijah pada malam hari pukul 23.00 – 02.00 sekitar tanggal 27 – 28, dimana pememijah terjadi sacara terus menerus selama 10 -14 hari, dengan perbandingan antara induk jantan dan betina adalah 1 : 1.
2.3.5.  Penetasan Telur
          Telur hasil pemijahan di tampung di akuarium (50 × 50 × 50 cm) dengan kepadatan optimum 1.000 – 2.000 butir/liter selama 2 – 4 jam. Ciri – ciri telur yang baik adalah berwarna transparan, mengapung atau melayang berbentuk bulat dan kuning telur berada di tengah dengan ukuran 1,8 – 1,1 mm sedangkan untuk telur yang jelek akan mengendap di dasar akuarium dan berwarna putih susu telur yang jelek dibuang dengan cara disifon, setelah disifon telur dihitung dan ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva.
          Telur akan menetas dalam kurun waktu 19 jam dan pada awal penetasan diberikan aerasi dengan tekanan yang kecil agar larva kerapu yang baru menetas tidak teraduk oleh arus yang ditimbulkan aerasi. Pemeliharaan larva dilakukan di bak semen dengan kapasitas 8 – 10 m3 yang dilengkapi sistem aerasi yang berjarak 50 – 100 cm dan 5 cm di atas dasar bak. Padat penebaran telur dalam bak 8 – 15 butir/liter, larva yang baru menetas berukuran 0,8 – 1,1 mm berwarna putih transparan, bersifat planktonik dan bersifat mengikuti arus (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).
2.3.6.  Pemeliharaan Larva
           Menurut Widiastuti et all. (1999) larva dipelihara di bak yang berbentuk persegi empat panjang atau bulat dengan kedalaman antara 1 – 1, 25 m. Pada umumnya bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva secara massal berukuran 10 – 20 ton. Penggunaan bak besar untuk menggurangi fluktuasi suhu, khususnya pada larva yang masih berumur 0 – 10 hari. Bak sebelum diisi larva  terlebih dahulu dibersihkan, dikeringkan dan direndam dengan kaporit 30 – 50 ppm dan dibiarkan selama 3 hari hingga kaporitnya hilang dan aman untuk dipelihara larva. Salinitas media pemeliharaan larva 30 - 33 ppt, sedangkan temperatur air antara 27 - 290C. Pada awal pemeliharaan bak diisi dengan air media setengah dari volume bak.
          pada saat larva berumur D8 – D10 dilakukan penyiponan pada media pemeliharaan. Di bak pemeliharaan diberikan aerasi dalam tekanan yang kecil agar larva ikan tidak teraduk dan stres, selama pemeliharaan selain penyiponan juga dilakukan pergantian air. Pergantian air dilakukan pada umur D10 – D20 dilakukan sebanyak 10 – 20%/hari, D21 – D30 sebanyak 30 – 40%/hari dan D31 – D35 sebanyak 50 – 80%/hari dan saat larva berumur lebih dari 35 hari pergantian air diganti lebih dari 80%/hari (Widiastuti at all 1999). Ada beberapa fase kritis yang harus diperhatikan saat pemeliharaan larva menurut (Widiastuti at all 1999) yaitu :
A. Fase kritis 1. Pada larva umur  D3 – D7 dimana telur sebagai cadangan makanan dari dalam terserap habis sedangkan bukaan mulut terlalu kecil untuk memakan pakan seperti rotifer. Organ pencernaan pada fase ini belum berkembang dan sempurna, sehingga belum dapat memanfaatkan pakan yang tersedia kematian larva juga bisa terjadi saat cadangan makanan habis dan mulut belum bisa membuka dengan sempurna.
B. Fase kritis 2. Kematian terjadi pada saat larva berumur D11- D12 yaitu ketika spina sirip punggung dan sirip dada semakin memanjang dan pada fase ini kemungkinan membutuhkan nutrisi yang lebih, sedangkan pakan yang diberikan masih sama dengan fase sebelumnya.
C. Fase kritis 3. Umur ikan D25 – D28 atau lebih pada saat terbentuknya bintik hitam (spot) yang menyebar dipermukaan tubuh sehingga ikan menyerupai ikan dewasa.
D. Fase kritis 4. Benih ikan berumur lebih dari D35 sifat kanibal sudah mulai tampak dimana benih yang ukuranya jauh lebih besar akan memangsa ikan yang kecil.    
2.3.7. Pemberian Pakan
          Pemberian pakan pada larva kerapu tikus yang berumur D1 diberikan makanan berupa fitoplankton Chlorella sp dengan kepadatan 1 – 5  105 sel/ml. Pemberian pakan fitoplankton bertujuan untuk keseimbangan kualitas air. Pada larva yang berumur 3 hari sampai 15 hari diberikan pakan rotifera dengan kepadatan 5 -20 ekor/ml dan setelah benih berumur lebih dari 15 hari pemberian pakan seperti rotifera berkurang 3 – 5 ekor/ml sampai ikan berumur D25 – D30. Kepadatan pakan rotifera pada awal pemeliharaan disesuaikan dengan umur larva dan harus dicek setiap hari sebelum penambahan pakan baru. Kelebihan pakan akan berpengaruh pada oksigen terlarut, utamanya pad malam hari.  
          Pada waktu larva berumur D12 – D15 sampai D20 pakan hidup yang diberikan berupa naupli artemia dengan kepadatan 0,5 – 3 ekor/ml dan dapat ditambah dengan kopepoda untuk menamah variasi dan kandungan nutrisi pakan sejak larva berumur 8 – 25 hari. Pakan hidup baik rotifera maupun artemia sebelum diberikan harus diperkaya terlebih dahulu dengan asam lemak esensial tak jenuh (w3 - HUFA) seperti minyak cumi – cumi, minyak ikan hati atau produk komersial yang lainya. Pada benih yang berumur D25 – D35 pakan yang diberikan disamping naupli artemia juga diberikan artemia muda dengan kepadatan 0,5 – 1 ekor/ml. Benih ikan berumur D35 – D45 diberikan pakan artemia dewasa dengan udang jambret. Juvenil ikan kerapu tikus umur 45 hari dan seterusnya diberikan paka udang rebon segar dan daging ikan segar yang digiling dengan frekuensi pemberian pakan 3 – 4 kali/hari (Widiastuti et all 1999). 
2.3.8.  Pengelolaan Kualitas Air
            Menurut (Subyakto dan Cahyaningsih 2003) kualitas air harus dijaga dan dikontrol setiap hari dan disesuaikan dengan parameter kebutuhan larva, karena sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan ketahanan larva terhadap penyakit. Pergantian air dilakukan pada larva berumur 10 – 20 hari sebanyak 10% - 20% per hari. Umur 21 – 30 hari, air yang diganti sebanyak 30% - 40% per hari. Umur 31 – 35 hari, air dalam bak diganti sebanyak 50% - 80% per hari. Kemudian lebih dari umur 35 hari air dalam bak pemeliharaan yang diganti sebanyak 80% per hari. Adapun parameter kualitas air untuk larva ikan kerapu dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini :


Tabel 1. Parameter Kualitas Air
Parameter Kualitas Air
Nilai
Alat Pengukur
Suhu
28 – 320C
Termometer
Salinitas
28 – 35 ppt
Refraktometer
pH
7, 8 – 8, 3
pH meter
Oksigen terlarut (DO)
 5 ppm
DO meter
Amonia
 0, 01 ppm
Titrasi/test kit
Nitrit
 1 ppm
Test kit/ metode kolorimetri
Sumber : (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).
2.3.9. Pengendalian Penyakit
          Menurut Hermawan at all. (1999 ) penyakit adalah faktor yang sangat merugikan, oleh karena itu untuk menanggulangi penyakit pada usaha pembenihan kerapu tikus perlu diperhatikan beberapa faktor seperti kualitas air, produktifitas ekosistem perairan dan pakan atau faktor lain yang berhubungan dengan kegiatan pembenihan. Penyakit yang biasa menyerang ikan kerapu tikus dan disebabkan olen faktor pathogenik antara lain : penyakit cacing mikroskopik, Cryptocarioniasis, Bakterial fin rot,  Vibriosis. Untuk menanggulangi penyakit yang disebabkan oleh parasit ini dpat dilakukan perendaman baik menggunakan air tawar selama 15 menit atau methylene blue 0, 1 ppm selama 30 menit. Perendaman dapat diulang sebanyak 2 – 3 kali.                 
2.4.     Panen dan Pasca Panen
2.4.1. Panen
          Pemanenan dilakukan setelah benih mencapai ukuran 5 – 7 cm atau disebut gelondongan, ukuran ini bisa mencapai masa pemeliharaan 3 – 4 minggu. Cara pemanenan adalah dengan menurunkan volume air dalam bak, air di kurangi melalui pipa pembuangan hingga tersisa seperempat bagian dan benih ikan kerapu tikus akan mengapung kemudian benih di ambil dan di taruh di bak penmpungan benih menggunakan skopnet atau serok yang lembut (Sudaryanto at all. 1999).
2.4.2. Pasca Panen
            Setelah dipanen benih yang akan dipasarkan dipacking menggunakan kantong plastik jenis PL. Ketika benih akan dipacking, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pada saat panen benih harus dalam kondisi dipuasakan atau tidak diberi pakan yang disesuaikan dengan tingkat berat dan ukuran. Benih yang berukuran kurang dari 3 gr dipuasakan 12 – 24 jam sebelumnya sedangkan untuk yang lebih dari 3 gr, 36 – 46 jam menjelang pengangkutan. Kondisi benih demikian sangat aman untuk di packing.
            Packing dilakukan dengan cara meletakan kantong plastik dalam wadah styrofoam dan diberi batu es secukupnya, kemudian ikan siap untuk dikirim ke tempat tujuan. Biasanya, 1 wadah styrofoam ukuran standart 75 x 42 x 32 cm dapat diisi 8 buah kantong plastik dan cukup diberi 2 buah batu es yang dibungkus kantong plastik berukuran 10 x 15 cm dan koran bekas. Kepadatan setiap kantong antara 20 – 25 ekor (Subyakto dan Cahyaningsih 2003).

1 komentar:

  1. Bismillah,Mohon ijin admin , numpang iklan promosi yaa...
    Kami menjual produk kapur diantaranya adalah :

    - Kapur Pertanian / Kaptan
    - Kapur Dolomite
    - Kapur Cao / Kalsium Oksida.
    - Kapur CaOH2 / Kalsium Hidroksida.
    - Kapur Tepung CaCo3 /Kalsium Karbonat /
    - Zeolite

    Untuk informasi lebih lanjut Silahkan hubungi :
    Bpk Asep
    081281774186
    085793333234
    Silahkan simpan nomor dan hubungi jika sewaktu waktu membutuhkan.

    BalasHapus