I
. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Budidaya bandeng telah dikanal di
Indonesia sejak 500 tahun yang lalu. Dan budidaya ini berkembang pesat hampir
diseluru wilayah indonesia dengan memanfaatkan perairan pasang surut. Teknologi
yang diterapkann juga berkembang pesat dari mulai tradisional yang mengandalkan
benih dari alam sampai dari hatchery–hatchery dengan pola budidaya yang
terencana.
Namun melihat potensi dan prospek yang
ada tidak tertutup kemugkinan untuk dikembangkan sebagai komuditas ekspor.
Karena selain sebagai produk olahan bandeng juga bisa digunakan umpan hidup
untuk penagkapan tuna karena kualitas bandeng lebih tinggi dibandingkan jenis
ikan lainnya (Rumiyati, 2012).
Dari data yang diambil dari Derektorat
Jendral Perikanan dan Pengembangan Perikanan 1985, tentang potensi sumber daya
hayati perikanan budidaya, diketahui bahwa potensi nener atau benih bandeng di
Indonesia cukup melimpah, terutama nener hasil pemijahan alam (Kordi dan
Ghufron, 2005).
Namun melihat keadaan yang ada pada saat
ini dengan kualitas alam yang berbeda secara otomatis nener yang disediakan
oleh alam tidak sebanyak dulu dan kualitas nenerpun tidak sebagus dulu serta
kurangnya indukan–indukan yang unggul di hatchery.
Selain
itu ditinjau dari segi prospeknya budidaya bandeng juga menjadi lapangan kerja
yang menjanjikan jika digeluti dengan lebih intensif serta budidaya bandeng
lebih aman ditinjau dari resiko kegagalan panen maupun resiko flukulatif harga
pemasaran dibandingkan dengan budidaya udang.
Oleh karena itu penulis inggin mengambil
judul Teknik Pengelolaan Induk Bandeng (Chanos chanos forskal) di Unit
Usaha Pembenihan Devisi Bandeng CV. Dwi Jaya Desa Sanggalangit, Kecamatan
Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.
1.2. Tujuan
Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) IV ini adalah untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pengelolaan induk
bandeng (Chanos
chanos forskal) yang diterapkan di Unit Usaha Pembenihan
Divisi Bandeng CV. Dwi Jaya Desa, Sanggalangit Kecamatan, Gerokgak Kabupaten
Buleleng, Provinsi Bali.
II. TUJUAN PUSTAKA
2.1.
Biologi Ikan Bandeng
2.1.1.
Taksonomi Ikan Bandeng
Ikan bandeng termasuk dalam famili Chanide
(milk fish) yaitu jenis ikan yang mempunyai bentuk memanjang, padat, pipih (compress)
dan oval. Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari Derektorat Jendral
Budidaya (2010).
ikan
bandeng merupakan ikan jenis sebagai berikut :
Devisi : Teleostomi
Phylum : Vertebrata
Sup
phylum : Cranita
Class : Teleostomi
Sub
class : Actinopterygii
Ordo : Malacopterygii
Famili : Chanide
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos Fork
2.1.2.
Morfologi
Ikan bandeng mempunyai badan memanjang
seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng
berenag dengan cepat. Kepala bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di
ujung rahang tanpa gigi, dan lubang hidung terletak di depan mata. Mata
diselaputi oleh selaput bening (subcutanaus). Warna badan putih
keperak-perakan dengan punggung biru kehitaman.
Ikan bandeng juga mempunya sirip
punggung yang jauh di belakang tutup ingsang, dengan 14 – 16 jari–jari pada
sirip punggung, 16 – 17 jari–jari pada sirip dada, 11 – 12 jari–jari pada sirip
perut, 10 – 11 jari–jari pada sirip anus/dubur (sirip dubur /anal finn terletak
jauh di belakang sirip punggung), dan siripp ekor berlekuk simetris dengan 19
jari – jari. Sisik pada garis susuk berjumlah 75 – 80 sisik (Ghufron dan Kordi,
2005).
Untuk
lebih jelasnya mengenai Morfologi ikan bandeng dapat dilihat pada gambar 1
sebagi berikut :
Gambar 1 : Ikan Bandeng
Ikan bandeng jantan dan betina sulit
dibedakan baik secara morpologi, ukuran, warna sisik, bentuk kepala dan lain–lainnya.
Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang
kelamin menunjukan bentuk anatomi yang berbeda.
Untuk ikan bandeng jantan mempunya 2
tonjolan kecil (papila) yang terbuka dibagian luarnya yaitu selaput dubur
luar dan lubang pelepasan ( yang membuka membuka pada bagian ujungnya. Di dalam
alat genital jantan (vasa deferentia), mulai dari testes menyatu sedalam
2 – 10 mm dari lubang pelepasan. Lubang kencing (urinari pore) melebar
ke arah saluran besar dari sisi atas. Selain itu 2 tonjolan urogenital yang
membuka ke arah ventral anus.
Sedangkan untuk betina mempunyai 3
tonjolan kecil (papila) yang terbuka dibagian anal. Satu lubang adalah
lubang anus yang sejajar dengan lubang
genital pore sedangkan lubang satunya lagi yaitu lubang posterior dari genital
pore berada pada ujung urogenital papila. Dari 2 oviduct menyatu
kearah saluran yang lebar yang merupakan saluran telur dan saluran tersebut
berakhir di genital pore (Rusmiyati, 2012).
2.1.3.
Siklus Hidup
Ikan bandeng merupakan jenis ikan laut
yang daerah penyebarannya meliputi daerah tropika dan sup tropika (Pantai Timur
Afrika, Laut Merah sampai Taiwan, Malaysia, Indonesia dan Australia). Di
Indonesia penyebaran ikan bandeng meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa,
Madura, Bali, Nusa Tenggara, Aceh, Sumatra Selatan, Lampung, Pantai Timur
Kalimantan, sepanjang pantai Sulawesi dan Irian Jaya.
Ikan bandeng termasuk jenis ikan euryhaline
dimana dapat hidup pada kisaran kadar garam yang cukup tinggi (0 – 140
promil). Oleh karena itu ikan bandeng dapat hidup di daerah tawar
(kolam/sawah), air payau (tambak), dan air asin (laut) (Derektorat Jendral
Perikanan Budidaya, 2010).
2.1.4.
Kebiasaan Makan
Makanan
yang biasanya dimakan bandeng berupa ganggang benag (Chlorophyceae),
Diatomae, Rhyzopoda (amoba), Gastropoda (siput) dan beberapa jenis
plankton lainnya. Sedangkan di tambak bandeng dikenal sebagai pemakan klekap
(tahi air atau bangkai) yang merupakan kehidupan kompleks yang didomain oleh
ganggang biru (Cyanophyceae) dan gaggang kersik (Baccillariophyceae).
Di samping itu organissme lain yang biasanya dimakan bandeng adala bakteri, protozoa, cacing, udang renik.
(Ghufron dan Kordi, 2005).
2.2.
Persaratan Lokasi
2.2.1.
Persaratan Lokasi Secara Teknis
Secara teknis lokasi sangat mempengaruhi
konstruksi dan daya tahan serta pemeliharaan tambak. Faktor teknis yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikaut :
a.
Tanah
Dalam kegiatan pengelolaan induk jika
bak pemeliharaan induk berasal dari tanah diharapkan tanah dapat berfugsi
sebagai penahan air, tempat pertumbuhan pakan alami, penyedia unsur hara, dapat
mengeleminir kerusakan air.
Jenis tanah yang baik dalam pengelolaan
induk berstruktur tanah liat berpasir. Jenis tanah ini sangat menguntungkan
kaena bersifat kedap air. Kadar keasaman (pH) sekitar 6,5 sampai 7,5. Hal
tersebut dikarenakan tanah yang kadar lebih kecil dari 5 termasuk tanah yang
terlalu asam dan kurang mendukang produktivitas tambak. Untuk kandungan bahan
organik antara 2 – 4 persen, hara nitrogen berkisar 0,16 – 0,21 persen,
kandungan fosfor 36 – 46 ppm, kalsium 700 ppm dan magnesium 300 ppm.
b.
Air
Air merupakan faktor utama yang berperan
dalam pengelolaan induk bandeng, karena iar sebagai media hidup dan berperan
langsung terhadap kealngsungan hidup dan pertumbuhan. Adapun mutu air yang
optimal untu pemeliharaan induk bandeng dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1 : Mutu air optimal bagi pemeliharaan bandeng.
Peubah
|
Ambang bawah
|
Kisaran atas
|
optimum
|
DO
(mg/l)
|
2,0
|
-
|
Sekitar jenuh
|
Amoniak
(mg/l)
|
0,0
|
0,1
|
0
|
Asam
belerang (mg/l)
|
0,000
|
0,001
|
0
|
Bahan
organik (mg/l)
|
10,0
|
30,0
|
15,0 – 20,0
|
pH
|
7,5
|
9,0
|
8,0 – 8,3
|
Temperatur
(0c)
|
26,0
|
32,0
|
29 – 30
|
Salinitas
(ppt)
|
20,0
|
35,0
|
29 – 32
|
Kecerahan
(cm)
|
30
|
50,0
|
35,0 - 40
|
Sumber
: Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010.
2.2.2.
Persaratan Lokasi Secara Non Teknis
Selain faktor teknis dalam usaha
budidaya bandeng faktor non teknis pun perlu diperhatikan. Adapun persaratan
secara non teknis sebagai berikut :
a.
Lokasi
mudah dicapai dengan sarana transportasi terutama dengan kendaraan roda empat
sehingga memudahkan dalam pengankutan.
b.
Lokasi
dekat dengan tempat tinggal sehingga untuk kegiatan monitoring dan penjagaan dapat dilakukan dengan mudah.
c.
Lokasih
tidak mudah banjir.
d.
Lokasi
tersebut mudah dalam memasarkan hasil produksi dan mudah dalam memperoleh
tenaga kerja sehingga meghemat biaya produksi sekaligus membuka
peluang/kespatan kerja.
e.
Bukan
daerah kawasan industri dan perumahan padat.
f.
Tidak
mengaggu lahan dan pengguna lahan sekitarnya.
(Derektorat Jendral Perikanan
Budidaya, 2010).
2.3.
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah sesuatu yang
dapat menunjang kagiatan produksi adapun sarana dan prasarana yang perlu
dilengkapi sebagai berikut :
2.3.1.
Sarana Pokok
Sarana pokok yang dimanfaatkan langsung
dalam pengelolaan indyk bandeng ini adalah bak penanpunagan air, bak
pemeliharaan induk, bak pemeliharaan telur, bak pemeliharaan larva dan Bak
pemeliharaan pakan alami menurut (Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).
2.3.2.
Sarana Penunjang / prasarana
Untuk menunjang kegiatan pengelolaan
induk sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, laboratorium
kering, ruang pengepakan, kendaraan angkautdan sumber listrik. Sedangkan perlengkapan
penunjang dalam pengelolaan induk bandeng adalah generator, pompa udara, pompa
air laut, pompa air tawar dan penganalisa air (Murtidjo, 2002).
2.4.
Persiapan Pengelolaan Induk Bandeng
2.4.1. Persiapan Bak
Sebelum
digunakan bak dibersihkan dan dicuci dengan sabun serta disikat dengan sikat
dinding kemudian bak dikeringkan selama 2 – 3 hari. Pembersihan bak juga bisa
dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak dengan mengunakan kain yang
dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10 % dalam 1 m3
air) dan didiamkan selama 1 – 2 jam selanjutnya bak dinetralisir dengan
larutan Natrium thisulfat dengan dosis 40 ppm (Derektoret Bina Pembenihan
Jendral Perikanan, 2010).
2.4.2. Pengadaan Induk
Pengadaan
induk merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi unit pembenihan bandeng.
Indukkan bandeng yang potensial berusian 5 – 6 tahun, berat 4 kg dan panjang
0,5 – 0,6 m. Secara prinsip faktor usia lebih diprioritaskan daripada faktor
panjang dan berat tubuh (Murtidjo, 2002). Indukan yang bagus iyalah indukan
yang berwarna cerah, bersisik bersih tidak banyak terkelupas serta mampu
berenag cepat (Rusmiyati, 2012).
2.4.3. Seleksi Induk
Untuk dapat melakukan seleksi,
setidaknya harus memahami sistem reproduksi ikan bandeng. Di dalam sistem
reproduksi, kelenjar biak atau gonada memiliki peran yang sangat penting. Untuk
ikan bandeng betina, gonada disebut ovarium. Sedangkan untuk ikan bandeng
jantan, gonoda disebut testes.
Adapun fase perkembangan ovarium induk jantan dan induk
betina dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Fase pertumbuhan induk bandeng jantan dan betina.
Fase pertumbuhan
|
Jantan
|
Betina
|
1
|
2
|
3
|
1
|
Testes sangat kecil dan
berwarna transparan sampai kelabu
|
Ovarium sangat kecil tidak
berwarna abu- abu dan transparan
|
2
|
Testes jernih dan berwarna
abu- abu sampai kemerahan
|
Ovarium jernih sampai
abu-abu dan kemerahan, panjangnya setengah dari rongga bawah
|
3
|
Testes berbentuk bulat
telur, berwarna kemerahan dan testes mengisi hampir setengah bagian rongga
badan ventral
|
Ovarium sudah berbentuk
bulat telur, berwarna kemerahan dan mengisi sekitar 50 % ruangan rongga bawah
|
4
|
Testes kemerahan sampai
putih dan tidak keluar tetesan sperma jika perutnya di urut ke arah anus,
mengisi 60% rongga tubuh bagian bawah.
|
Ovarium berwarna jingga
kemerahan, telur sudah dapat dibedakan dengan jelas dan berbentuk bulat
telur, serta sudah mengisi 60 % ruangan rongga bawah
|
5
|
Testes
berwarna putih dan akan keluar tetesan sperma jika perutnya diurut
|
Ovarium sudah mengisi penuh
ruangan rongga bawah dan telur berbentuk bulat dan jernih
|
1
|
2
|
3
|
6
|
Sperma
keluar menetes sedikit jika perutnya tertekan pelan
|
Telur mudah keluar dengan
sedikit tekanan pada perut, sebagian besar telur jernih dan hanya sebagian
saja yang memiliki bentuk bulat telur
|
7
|
Testes
sudah kosong sama sekali
|
Ovarium belum kosong sama
sekali dan tidak ada telur yang memiliki bentuk bulat telur
|
8
|
Testes kosong berwarna
kemerahan
|
Ovarium kosong,
berwarna kemerahan, dan beberapa butir telur sedang di hisap kembali
|
9
|
Testes jernih dan berwarna
abu- abu sampai merah
|
Ovarium
jernih sampai abu- abu kemerahan
|
Sumber
: Murtidjo (2002).
2.4.4. Pengangkutan Induk
Pengangkutan induk bandeng memerlukan
teknik tersendiri, karena induk bandeng sangat sensitif terhadap getaran dan
cahaya atau sesuatu yang mendekati tubuhnya. Ada dua alternatif cara
pengangkutan induk bandeng, yakni sebagai berikut.
a. Pengangkutan sistem terbuka
Pengangkutan induk bandeng sistem
terbuka dilakukan dengan menggunakan plastik pool yang memiliki volume 20 ton
dan tinggi air sekitar 0,40 m, dalam pengangkutan system terbuka ini ,
salinitas yang digunakan adalah 15 permil, temperature 25 – 27 0C,
dan penambahan oksigen.
Untuk menjaga kestabilan temperatur air
digunakan es balok sebanyak setangah bagian. Pengangkutan induk bandeng
sebanyak 10 ekor dengan berat rata-rata 2 kg per ekor memerlukan es balok
sebanyak 4 buah, 2 botol Gm oksigen, dan lama perjalanan 10 jam.
b. Pengangkutan dengan Obat Penenang
Pengangkutan induk bandeng menggunakan
obat atau bahan kimia bertujuan agar induk bandeng tidak banyak bergerak, lebih
efisien dan memudahkan penanganan. Ada dua jenis bahan kimia yang umumnya
digunakan sebagai anastesi, yaitu MA-222
dan Qunaldine MS-222 (tricaine
methanosulonate).
Penggunaan bahan anastesi dilakukan dengan cara dicampur
air dengan perbandingan 1 : 10.000 atau 1 g MS-222, dilarutkan dalam 10 liter
air. Temperatur yang dikehendaki berkisar antara 20 – 35 0C. Untuk
10 ekor induk bandeng berukuran 5 kg per ekor dapat menggunakan anastesi
sekaligus dalam larutan 100 liter air. Larutan MS-222 dapat digunakan
secara efektif selama 24 jam dan setlah itu larutan tersebut harus diganti
dengan yang baru.
Quenaldine atau chinaldin (2 -
4 methilchinolin)
merupakan cairan toksik, maka penggunaan dan penanganannya harus dilakukan
dengan hati-hati. Bahan ini umumnya digunakan pada induk bandeng yang berada
dalam wadah yang bervolume besar, seperti tangki atau disudut kolam yang diberi
jaring. Dosis yang dianjurkan adalah 1 :
40.000. Jika terlihat gerakan operculum ikan tidak normal, maka induk ikan
harus segera dipindah ke dalam air yang segar (Murtidjo, 2002).
2.4.5. Aklimatisasi Induk
Setelah sampai di Unit Pembenihan
Bandeng, indukan bandeng tidak harus langsung dipelihara dalam bak pemeliharaan
induk, tapi harus dimasukkan dalam bak aklimatisasi sebagai penyegaran dan
penyesuaian lingkungan. Gangguan yang biasa terjadi pada induk bandeng yang
baru didatangkan adalah gangguan penglihatan. Hal tersebut diketahui setelah
induk bandeng berada dalam bak aklimatisasi. Biasanya berupa adanya warna opak
pada bagian mata. Maka induk bandeng yang baru didatangkan ditampung dalam bak
yang airnya mengalir dengan salinitas 15 permil. Salinitas perhari dinaikkan
secara bertahap sampai mencapai 25 - 30 permil dengan watu aklimatisasi selama
7 - 10 hari (Murtidjo, 2002).
2.5. Pemeliharaan Induk
Indukan
bandeng yang sudah berada di dalam bak aklimatisasi selanjutnya dipelihara
dalam bak pemeliharaan untuk dilakukan pemeriksaan dan pearawatan secara
intensif. Di dalam bak pemeliharaan indukan harus diberi aerasi secara terus
menerus. Jika tidak dilengkapi aerasi bak dapat dialiri air dengan sisitem
sirkulasi air atau air mengalir sebanyak 100 % - 150 % dari volume air setiap
harinya.
Selama
dalam pemeliharaan kualitas air harus diperhatikan dan terkontrol, untuk
mengatasi menurunnya kualitas air maka perlu dilakukan penyiponan kotoran
setiap pagi harinya (Murtidjo, 2002).
2.6. Pengelolaan Pakan Indukan
Ikan bandeng
tergolong ikan vegetaris (pemakan tumbu–tubuhan). Jumlah makanan yang
dikonsumsi oleh seekor bandeng antara 5 % sampai 6 % dari berat tubuhnya per
hari (Murtidjo, 2002).
Kandungan
pakan yang digunakan berprotein sekitar
35% dan lemak 6-8% dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali per hari yakni pagi
sekiat jam 08:00 dan sore sekiat jam 16 : 00 pakan yang baik digunakan adalah
pellet (Derektorat Jendral Budidaya Perikanan, 2010).
2.7. Pengelolaan Kualitaas Air
2.7.1. Pergantian Air
Air
merupakan faktor penentu yang daya dukung tambak. Jika mutu air baik, daya
dukung tambak akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika mutu air rendah maka daya
dukungnya pun rendah. Untuk menjaga mutu air tambak, salah satu caranya adalah
dengan pergantian air.
Sebelum air
diganti, kondisi air yang akan dimasukkan harus diamati dengan mengukur pH,
oksigen, kecerahan, salinitas, dan kekeruhan. Jika kualitas air yang masuk
bagus maka pergantian air tidak perlu sampai 20 %. Bila pergantian air lebih
dari 10 %, maka pergantian air dilakukan dengan membuang air bawah sekaligus
memasukkan air. Hal ini dapat mengurangi stres ada ikan budidaya dan dapat
menghindari fluktuasi parameter
kualitas air.
Resiko yang
diakibatkan oleh pergantian air dapat dikurangi dengan mengendapkan air
dalam reservoir (tandon/petak pengendapan)
minimal
12 jam. Bila air yang dimasukkan kedalam tambak disaat
pergantian berasal dari pesisir, estuarin
atau sungai, hendaknya kualitas air telah diketahui. Artinya, pengukuran
kualitas air telah dilakukan sebelum air itu dimasukkan kedalam tambak
(Murtidjo, 2002).
2.7.2. Parameter Kualitas Air
Beberapa
faktor mengenai parameter kualitas air yang harus diperhatikan pada budidaya
bandeng antara lain oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa
beracun seperti amonia dan asam belerang yang berkaitan erat satu satu sama
lain. Lingkungan yang baik bagi bandeng adalah bila faktor–faktor tersebut
saling berpengaruh dalam keseimbangan dan pada kondisi konsentrasi optimal.
Pengelolaan
mutu air merupakan upaya untuk mempertahankan kondisi air tetap optimal bagi
usaha budidaya bandeng intensif. Oleh karena itu harus diselaraskan dengan
jumlah bahan seperti pakan, pupuk, dan pestisida yang ditambahkan serta jumlah
ikan yang ditebarkan adapun kualitas air adalah sebagai berikut :
1. Kecerahan
Kecerahan
mencerminkan jumlah individu plankton yaitu jasad renik yang melayang dan
selalu mengikuti pergerakan air. Plankton
yang mengandung klorofil dan
mampu melakukan fotosintesis disebut fitoplankton, sedangkan plankton
yang memakan fitoplankton karena
tidak mampu melakukan
fotosintesis disebut zooplankton. Fitoplankton terdiri
dari berbagai jenis
yang masing–masing berlainan warna yang biasanya tampak sebagai warna
air. Warna air hijau muda biasa didominasi Chlorophyta.
Warna air hijau kecoklatan mencerminkan dominasi diatomae dari klas Bacillariophyta,
sedangkan Dinoflagellata memberikan
warna coklat kemerahan pada air. Warna air hijau muda dan coklat muda biasanya
lebih baik bagi bandeng dari pada warna air lain karena mengandung banyak Diatomae dan Chlorophyta.
Dominasi plankton bisa ditentukan oleh
perbandingan nitrogen dan fosfor serta salinitas. Semua plankton jadi berbahaya kalau kecerahan sudah kurang dari 25 cm
kedalaman pinggan secchi disk. Cara
pengukurannya , lingkaran tripleks
berdiameter 30 cm di cat hitam–putih berselang seling dalam kuadran serta
diberi pemberat supaya dapat tenggelam dan dapat dilengkapi tali atau tangkai
untuk mengukur kedalaman pada saat pinggan hilang dari pandangan. Kecerahan
yang baik bagi usaha budidaya ikan berkisar antara 30 – 40 cm yang diukur
menggunakan pinggan secchi disk. Bila
kecerahan sudah mencapai kedalam kurang dari 25 cm, pergantian air sebaiknya
segera dilakukan sebelum fitoplankton mati
berturutan yang diikuti penurunan oksigen terlarut secara drastis.
2. Derajat Keasaman
Air laut biasanya bersifat alkalis dengan pH lebih dari 7 karena
banyak mengandung garam yang bersifat alkalis.
Air yang banyak mengandung CO2 biasanya mempunyai pH lebih rendah
dari 7 dan bersifat masam. Derajat kemasaman (pH) air sebesar 6,5 – 9,0 sangat
memadai bagi budidaya ikan. Dalam keadaan normal, pH air tambak terletak antara
7,0 – 9,0. Namun, pada keadaan tertentu, kalau tanah dasar tambak memiliki
potensi kemasaman, pH air tambak dapat turun mencapai lebih rendah dari 4.
Kapur dapat
digunakan untuk menaikkan pH. Namun, tanah yang mengandung pirit memerlukan kapur yang sangat banyak sehingga tidak tepat.
Biasanya kapur yang sudah ditambahkan tercuci pada waktu pergantian air dan
kemasaman air mucul kembali. Untuk itu, salah satu cara mengatasi kemasaman air
dengan cara melakukan reklamasi.
Reklamasi tanah tambak memungkinkan
proses pengeringan dan pencucian tanah dasar tambak. Tahap pertama reklamasi
adalah penggalian lokasi sehingga air dapat dimanfaatkan untuk perendaman dan
pencucian. Perendaman tanah yang sudah di gali pada proses reklamasi dilakukan
setelah satu minggu pengeringan dan diikuti dengan pencucia setiap hari selama
pasang naik pada bulan pertama. Pengeringan dilakukan selama pasang surut
setiap bulan. Perendaman dan pencucian dilakukan terus menerus selama minggu
bulan kedua. Pada minggu ketiga bulan kedua dan minggu pertama serta ketiga
dalam bulan ketiga, perendaman dilakukan selam satu minggu dan diikuti dengan
pencucian.
3. Suhu
Suhu air sangat berkaitan erat dengan
konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air.
Suhu air berbanding terbalik dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut, tetapi
berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksu kimia
dalam air. Berdasarkan pengamatan di Instalansi Tambak Percobaan Marana (Sulawesi
Selatan), ikan bandeng masih hidup normal pada suhu 35 oC. Secar
teoritis, ikan tropis masih hidup normal pada kisaran suhu 30 - 35 oC
kalau konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi.
Suhu air
optimal bagi ikan terletak antara 28 - 30 oC. Pada kisaran tersebut,
konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh jam. Di bawah suhu 25 oC,
konsumsi konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh-jam. Pada suhu 18 - 25 oC, ikan masih bertahn hidup,
tetapi nafsu makan mulai menurun. Suhu air 12 - 18 oC mulai
berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu di bawah 12 oC ikan tropis
mati kedinginan.
Pergantian
air atau pencampuran air merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi
pengaruh suhu tinggi. Suhu air tambak cenderung lebih tinggi dari suhu air laut
akibat perbedaan volume. Pergantian air yang diupayakan untuk pengenceran metabolit sekaligus dapat mempengaruhi
suhu tinggi. Secara tradisional, petambak bisa membuat caren (bagian tambak di
sekeliling pematang) yang lebih dalam dari pelataran (bagian tengah tambak)
untuk tempat udang atau tempat berlindung ikan dari suhu tinggi.
4. Salinitas
Ikan bandeng mampu menyesuaikan diri terhadap salinitas air, sehingga
dapat hidup di air tawar (salinitas antara 0 - 5 ppt) maupun air asin
(salinitas > 30 ppt). Namun karena ikan bandeng dibudidayakan untuk tujuan
komersial maka rentan salinitas optimal perlu dipertahankan. Pada rentan
salinitas optimal (20 - 25 ppt), ganggang-ganggang dasar (klekap) yang menjadi
makanan alami bagi ikan bandeng dapat tumbuh dengan baik, sehingga dapat
mengurangi biaya pembelian pakan (Taufik, Erna Ratnawati, dan M. Jamil R.
Yakob, 2009).
2.8.
Pengendalian Hama Penyakit
Penyakit
yang ditimbulkan oleh bakteri, parasit, virus, dan jamur yang disebabkan
lingkungan tambak yang buruk, dan terjadinya penurunan daya tahan dari tubuh
ikan bandeng yang dipelihara.
Penyakit
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang penting dan sering menyerang ikan
bandeng diantaranya adalah:
1. Pembusukan sirip, biasanya
disebabkan oleh serangan bakteri. Gejala yang timbul adalah terjadinya
pembusukan sirip dari bagian tepi.
2. Vibriosis, umumnya disebabkan oleh
bakteri Vibriosis sp, dengan gejala
yang timbul adalah berkurangnya nafsu makan ikan bandeng yang dipelihara,
terjadinya pembusukan sirip, dan bagian perut ikan membengkak karena banyak
mengandung cairan.
3. Penyakit oleh protozoa, dengan gejala berkurangnya
nafsu makan, mata menjadi buta, sisik banyak yang terkelupas, insang rusak,
serta banyak mengeluarkan lendir.
4. Penyakit oleh cacing renik.
Cacing renik dapat menyebabkan penyakit dengan
gejala yang spesifik. Ikan bandeng sering diserang oleh cacing Diploctanum, terutama bagian insang,
sehingga menjadi pucat dan banyak mengeluarkan lendir.
Cara pengendalian
penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian obat–obatan yang mengandung unsur
mineral dan asam–asam organik penting yang mampu menetralkan berbagai gas
berbahaya hasil pembusukan kotoran dalam
tambak serta unsur mineral yang dapat menyuburkan plankton sebagai pakan alami.
Faktor kedua
adalah mencukupi kebutuhan nutrisi dalam jumlah yang ideal, yaitu ikan bandeng
yang sedang dipelihara harus diberi pakan dengan kandungan protein yang sesuai,
serta dapat pula ditambah atau dicampur dengan konsentrat pada pakan buatan
(Prahasta, 2008).
2.9. Pematang Gonad
Kematangan gonad induk dapat dipercepat
dengan mengunakan hormon LHRH (Letuizing Hormon Releasing Hormon) atau
Metil Testoteron. Pengunaan hormon dilakukan dengan cara dikemas dalam
bentuk pelet yang disuntukan setiap 1 bulan sekali dengan mengunakan alat
suntik yang disebut impleter.
Penyuntikan induk bandeng
dilakukan setelah indukan bandeng dibius sehingga penyuntikan dapat dilakukan
dengan mudah. Adapun penyuntikan induk bandeng dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
1.
Induk
bandeng diletakan di atas bantalan busa
2.
Lendir
yang melapisi bagian punggung sebelah kanan induk bandeng dibersikan
3.
Salah
satu sisik dilepas dengan mengunakan pisau kecil, kemudian pisau ditusukkan
sedikait untuk membuat lubang tempat penenpelan pellet hormon.
4.
Pellet
hormon dimasukkan dengan mengunakan bantuan alat implanter
5.
Indukan
yang sudah disuntik segera dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan induk
Penyuntikan pellet hormon pada induk bandeng
sebaiknya dilakukan secara rutin sebulan sekali sampai induk bandeng dapat
memijah secara alami dalam bak. Pelet hormon mempunyai kemampuan kerja selama 1
bulan. Jika indukkan bandeng sudah dapat memijah maka penyuntikan bisa
dihentikan.
Adapun mekanisme kerja hormon di dalam
tubuh induk bandeng adalah sebagai perangsang kelenjar pituitary untuk
menghasilkan Gonadotropin yang akan merangsang pematang gonatan indukan
bandeng.
Untuk dosis yang dianjurkan adalah 30
– 50 ug/kg berat indukan. Indukan yang disuntik akan memijah setelah 18 jam
kemudian (Murtidjo, 2002).
2.10. Pemijahan
Pemijahan
bandeng yang dilakukan dapat secara alami maupun buatan.
Pemijahan
alami adalah pemijan yang dilakukan dengan memasukan indukan jantan dan betina
dalam 1 bak dengan kedalaman 1,5 – 3,0 meter yang berbentuk bulat dengan
kepadatan 2 – 4 m3 air per indukkan dengan sistem aerasi kuat. Untuk
pergantian air dilakukan setiap hati sebanyak 150%.
Pemijahan buatan adalah pemijahan ini
dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang bisa digunakan antara lain
hormon LHRH (Letuizing Hormon Releasing Hormon) atau Metil
Testoteron. Dengan dosis 30 -
50 ug/kg berat indukan. Pemberian hormon dilakukan melalui pellet hormon
(Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).
2.11.
Pemanenan dan Penetasan Telur
Telur ikan bandeng yang telah dibuai
berwarna trasparan mengapung pada salinitas > 30 ppt. Sedangkan yang tidak
berbuai berwarna putih keruh dan tengelam. Telur yang dibuai kemudian dipanen
dan diinkubasi dengan aerasi hingga telur pada tingkat embrio. Selanjutnya
aerasi dihentikan dan telur dipindahkan untuk telur yang mengapung dipindahkan
secara hati – hati kedalam bak penetasan / peraawatan larva. Kepadatan yang
ideal dalam bak penetasan antara 20 – 30 butir perl iter. Masa keritis telur
terjadi antara 4 – 8 jam setelah pembuaihan. Setelah telur dipanen telur
didesinfeksi mengunakan larutan formalin 40 % selama 10 – 15 menit untuk menghindari
bakteri dan parasit (Murtidjo, 2002).
Telur akan menetas setelah 24 – 26 jam
dari awal pemijahan. Penetasan telur ditandai dengan banyaknya lapisan minyak
di permukaan dan adanya pengendapan cangkang telur ataupun telur yang tidak
menetas (Rusmiyati, 2012).
III.
METODELOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Praktek Kerja
Lapang VI
Kegiatan
Praktek Kerja Lapang VI ini dilaksanakan dari tanggal 8 sampai dengan 21
Oktober 2012, di Unit Pembenihan CV. Dwi Jaya
Desa Sanggalangit Kecamatan Gerogak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.
3.2.
Metode Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang VI
Dalam kegiatan
Praktek Kerja Lapang ini, untuk memperoleh pengetahuan tentang pengelolaan induk bandeng
dilakukan dengan metode survei.
Metode survei adalah suatu penyelidikan
yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dalam
mencari keterangan secara faktual. Metode survei ini digunakn untuk menigkatkan
pengetahuan (Nazir, 1999).
Sedangkan
untuk menigkatkan keterampilan di lapangan digunakan metode magang. Metode
magang yaitu proses belajar dimana seseorang memperoleh dan menguasai
keterampilan dengan cara melibatkan diri dalam proses pekerjaan dengan petunjuk
orang yang sudah trampil dalam suatu pekerjaan (Lomban J, 2000).
3.3.
Jenis Data
Berdasarkan data yang diambil
dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder (Suryabrata, 2006).
Adapun pengertian data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut :
a.
Data
primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumbernya yang
meliputi :
1. Proses persiapan kolam
2. Pengadaan induk
a. seleksi iduk
b. perawatan induk yang baik
3.Tata letak fasilitas hatchery
a.
Jarak fasilitas hatchery dengan fasilitas lainnya
b.
Peralatan yang digunakan dalam proses pengelolaan induk
4. Tenaga kerja
a. Jumlah pegawai
c. Jenis kelamin
b.
Data sekunder yaitu data yang biasanya tersusun dalam bentuk dokumen dokumen
atau data yang dikumpulkan secara tidak langsung dari sumbernya. Adapun data
sekunder yang dibutuhkan antara lain :
1.
Lokasi
Hatchery
2.
Struktur
Organisasi Hatchery
3.
Ketenagakerjaan
3.4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan
dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapang VI yaitu mengunakan metode observasi
(pengamatan) yaitu mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan
mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diamati dengan menggunakan
perangkat observasi.
Sedangkan untuk memperoleh data yang
sifatnya tidak langsung mengunakan metode Wawancara atau proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dilakukan oleh dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Narbuko
dan Achmadi, 2005).
3.5.
Teknik Pengololaan Data dan Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian diolah
dengan mengunakan editing atau kegiatan memeriksa data yang telah
terkumpul untuk mengetahui apakah semua data sudah sesuai dengan yang
diharapkan.
Setelah data terkumpul kemudian data
diolah dengan teknik Tabulating atau kegiatan menyajikan data dalam
bentuk tabel untuk mempermudah analisa data (Narbuko dan Achmadi,
2005).
3.5.1.
Analisa Data Teknik
Analisa data teknik yaitu dengan cara
membandingkan data yang diperoleh dari lapangan dengan data yang terdapat pada
litelatur. Adapun data teknik yang akan diambil meliputi :
Tabel
3 : Analisa data teknik
|
|
Data yang diperoleh
|
Keterangan
|
|
No
|
Uraian
|
Primer
|
Sekunder
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
1
|
Keadaan umum
unit usaha
a. Keadaan unit
usaha
- Kepemilikan unit usaha
- Sarana dan prasarana
- Keadaan kolam
- Jumlah kolam
- Ukuran kolam
- Alat-alat yang digunakan
- Luas lahan
b. Teanaga Kerja
- Jumlah tenaga kerja
- Tingkat Pendidikan
c. Sejarah unit
usaha
|
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
|
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
2
|
Persiapan
pengelolaan induk :
a.
Persiapan bak
b.
Pengadaan induk
c.
Seleksi induk
d.Pengangkutan
induk
e.
Aklimitasi induk
|
ΓΌ
ΓΌ
|
|
|
3
|
Pemeliharaan
induk
a.
Jumlah induk jantan dan
betina
b.
Perlakuan induk
c.
Pengelolaan pakan
- Frekuensi pakan
- Cara pemberian
- Waktu pemberian pakan
- Jenis pakan
- Kandungan pakan
|
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
|
|
|
4
|
Pematangan
gonad
a.
Cara pematangan gonad
b.
Perlakuan
|
ΓΌ
|
|
|
5
|
Pengelolaan
kualitas air
a.
Cara mengelola kualitas
air
b.
Alat yang digunakan
|
ΓΌ
|
|
|
6
|
Pengendalian
hama dan penyakit
a.
Cara mengatasi penyakit
b.
Cara peneggulangan
c.
Pengobatan ikan yang
terserang penyakit
d.
Waktu pengobatan
e.
Alat-alat yang digunakan
f.
Jenis hama dan penyakit
yang sering menyerang
|
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
ΓΌ
|
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
7
|
Panen
dan penetasan telur
a.
Waktu pemanenan
b.
Cara pemanenan
c.
Alat-alat yang digunakan
d.
Cara penetasan telur
|
ΓΌ
|
|
|
DAFTAR PUSTAKA
Derektorat Jendral Perikanan Budidaya. 2010. Budidaya
Bandeng. Jakarta.
Deroktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2010. Pembenihan
Bandeng. Jakarta.
Fao.
2001. Chanos – chanos. http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Chanos_chanos/en
(23 September 2012)
Kordi dan
Ghufron. 2005. Budidaya Ikan Laut. Rineka Cipta. Jakarta.
Lomban, J .2000. Sistem
Magang Dalam Pengembagan Perajin Kerawang. http://repository.upi.edu/operator/upload/chapther2 ( 15 Mei 2012).
Murtidjo, B.
2002. Bandeng. Kaniskus. Yohyakarta
Narbuko, A dan Achmadi, A. 2001. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.
Nazir,
M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rumiyati, S. 2012. Budidaya Bandeng Super. Pustaka
Baru Press. Yogyakarta.
Suryabrata,
S. 2006. Metodelogi Penelitian.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.