Kamis, 10 Januari 2013

PROPOSAL TEKNIK PENGELOLAAN INDUK BANDENG (Chanos chanos froskal)

I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang      
       Budidaya bandeng telah dikanal di Indonesia sejak 500 tahun yang lalu. Dan budidaya ini berkembang pesat hampir diseluru wilayah indonesia dengan memanfaatkan perairan pasang surut. Teknologi yang diterapkann juga berkembang pesat dari mulai tradisional yang mengandalkan benih dari alam sampai dari hatchery–hatchery dengan pola budidaya yang terencana.
       Namun melihat potensi dan prospek yang ada tidak tertutup kemugkinan untuk dikembangkan sebagai komuditas ekspor. Karena selain sebagai produk olahan bandeng juga bisa digunakan umpan hidup untuk penagkapan tuna karena kualitas bandeng lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lainnya (Rumiyati, 2012).
       Dari data yang diambil dari Derektorat Jendral Perikanan dan Pengembangan Perikanan 1985, tentang potensi sumber daya hayati perikanan budidaya, diketahui bahwa potensi nener atau benih bandeng di Indonesia cukup melimpah, terutama nener hasil pemijahan alam (Kordi dan Ghufron, 2005).
       Namun melihat keadaan yang ada pada saat ini dengan kualitas alam yang berbeda secara otomatis nener yang disediakan oleh alam tidak sebanyak dulu dan kualitas nenerpun tidak sebagus dulu serta kurangnya indukan–indukan yang unggul di hatchery.
       Selain itu ditinjau dari segi prospeknya budidaya bandeng juga menjadi lapangan kerja yang menjanjikan jika digeluti dengan lebih intensif serta budidaya bandeng lebih aman ditinjau dari resiko kegagalan panen maupun resiko flukulatif harga pemasaran dibandingkan dengan budidaya udang.
       Oleh karena itu penulis inggin mengambil judul Teknik Pengelolaan Induk Bandeng (Chanos chanos forskal) di Unit Usaha Pembenihan Devisi Bandeng CV. Dwi Jaya Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.
1.2. Tujuan
       Tujuan dari pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) IV ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang teknik pengelolaan induk bandeng  (Chanos chanos forskal)  yang diterapkan di Unit Usaha Pembenihan Divisi Bandeng CV. Dwi Jaya Desa, Sanggalangit Kecamatan, Gerokgak Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.





II. TUJUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Bandeng
2.1.1. Taksonomi Ikan Bandeng
       Ikan bandeng termasuk dalam famili Chanide (milk fish) yaitu jenis ikan yang mempunyai bentuk memanjang, padat, pipih (compress) dan oval. Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari Derektorat Jendral Budidaya (2010).
ikan bandeng merupakan ikan jenis sebagai berikut :
Devisi              : Teleostomi
Phylum            : Vertebrata
Sup phylum     : Cranita
Class               : Teleostomi
Sub class        : Actinopterygii
Ordo                : Malacopterygii
Famili              : Chanide
Genus             : Chanos
Species           : Chanos chanos Fork

2.1.2. Morfologi
       Ikan bandeng mempunyai badan memanjang seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng berenag dengan cepat. Kepala bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di ujung rahang tanpa gigi, dan lubang hidung terletak di depan mata. Mata diselaputi oleh selaput bening (subcutanaus). Warna badan putih keperak-perakan dengan punggung biru kehitaman.
       Ikan bandeng juga mempunya sirip punggung yang jauh di belakang tutup ingsang, dengan 14 – 16 jari–jari pada sirip punggung, 16 – 17 jari–jari pada sirip dada, 11 – 12 jari–jari pada sirip perut, 10 – 11 jari–jari pada sirip anus/dubur (sirip dubur /anal finn terletak jauh di belakang sirip punggung), dan siripp ekor berlekuk simetris dengan 19 jari – jari. Sisik pada garis susuk berjumlah 75 – 80 sisik (Ghufron dan Kordi, 2005).
Untuk lebih jelasnya mengenai Morfologi ikan bandeng dapat dilihat pada gambar 1 sebagi berikut :
           




Gambar 1 : Ikan Bandeng

       Ikan bandeng jantan dan betina sulit dibedakan baik secara morpologi, ukuran, warna sisik, bentuk kepala dan lain–lainnya. Namun pada bagian anal (lubang pelepasan) pada induk bandeng yang matang kelamin menunjukan bentuk anatomi yang berbeda.
       Untuk ikan bandeng jantan mempunya 2 tonjolan kecil (papila) yang terbuka dibagian luarnya yaitu selaput dubur luar dan lubang pelepasan ( yang membuka membuka pada bagian ujungnya. Di dalam alat genital jantan (vasa deferentia), mulai dari testes menyatu sedalam 2 – 10 mm dari lubang pelepasan. Lubang kencing (urinari pore) melebar ke arah saluran besar dari sisi atas. Selain itu 2 tonjolan urogenital yang membuka ke arah ventral anus.
            Sedangkan untuk betina mempunyai 3 tonjolan kecil (papila) yang terbuka dibagian anal. Satu lubang adalah lubang anus yang sejajar dengan  lubang genital pore sedangkan lubang satunya lagi yaitu lubang posterior dari genital pore berada pada ujung urogenital papila. Dari 2 oviduct menyatu kearah saluran yang lebar yang merupakan saluran telur dan saluran tersebut berakhir di genital pore (Rusmiyati, 2012).

2.1.3. Siklus Hidup
       Ikan bandeng merupakan jenis ikan laut yang daerah penyebarannya meliputi daerah tropika dan sup tropika (Pantai Timur Afrika, Laut Merah sampai Taiwan, Malaysia, Indonesia dan Australia). Di Indonesia penyebaran ikan bandeng meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Aceh, Sumatra Selatan, Lampung, Pantai Timur Kalimantan, sepanjang pantai Sulawesi dan Irian Jaya.
       Ikan bandeng termasuk jenis ikan euryhaline dimana dapat hidup pada kisaran kadar garam yang cukup tinggi (0 – 140 promil). Oleh karena itu ikan bandeng dapat hidup di daerah tawar (kolam/sawah), air payau (tambak), dan air asin (laut) (Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).

2.1.4. Kebiasaan Makan
            Makanan yang biasanya dimakan bandeng berupa ganggang benag (Chlorophyceae), Diatomae, Rhyzopoda (amoba), Gastropoda (siput) dan beberapa jenis plankton lainnya. Sedangkan di tambak bandeng dikenal sebagai pemakan klekap (tahi air atau bangkai) yang merupakan kehidupan kompleks yang didomain oleh ganggang biru (Cyanophyceae) dan gaggang kersik (Baccillariophyceae). Di samping itu organissme lain yang biasanya dimakan bandeng  adala bakteri, protozoa, cacing, udang renik. (Ghufron dan Kordi, 2005).

2.2. Persaratan Lokasi
2.2.1. Persaratan Lokasi Secara Teknis
       Secara teknis lokasi sangat mempengaruhi konstruksi dan daya tahan serta pemeliharaan tambak. Faktor teknis yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikaut :
a. Tanah
       Dalam kegiatan pengelolaan induk jika bak pemeliharaan induk berasal dari tanah diharapkan tanah dapat berfugsi sebagai penahan air, tempat pertumbuhan pakan alami, penyedia unsur hara, dapat mengeleminir kerusakan air.
       Jenis tanah yang baik dalam pengelolaan induk berstruktur tanah liat berpasir. Jenis tanah ini sangat menguntungkan kaena bersifat kedap air. Kadar keasaman (pH) sekitar 6,5 sampai 7,5. Hal tersebut dikarenakan tanah yang kadar lebih kecil dari 5 termasuk tanah yang terlalu asam dan kurang mendukang produktivitas tambak. Untuk kandungan bahan organik antara 2 – 4 persen, hara nitrogen berkisar 0,16 – 0,21 persen, kandungan fosfor 36 – 46 ppm, kalsium 700 ppm dan magnesium 300 ppm.
b. Air
       Air merupakan faktor utama yang berperan dalam pengelolaan induk bandeng, karena iar sebagai media hidup dan berperan langsung terhadap kealngsungan hidup dan pertumbuhan. Adapun mutu air yang optimal untu pemeliharaan induk bandeng dapat dilihat pada Tabel 1.





Tabel 1 : Mutu air optimal bagi pemeliharaan bandeng.
Peubah
Ambang bawah
Kisaran atas
optimum
DO (mg/l)
2,0
-
Sekitar jenuh
Amoniak (mg/l)
0,0
0,1
0
Asam belerang (mg/l)
0,000
0,001
0
Bahan organik (mg/l)
10,0
30,0
15,0 – 20,0
pH
7,5
9,0
8,0 – 8,3
Temperatur (0c)
26,0
32,0
29 – 30
Salinitas (ppt)
20,0
35,0
29 – 32
Kecerahan (cm)
30
50,0
35,0 - 40
Sumber : Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010.
2.2.2. Persaratan Lokasi Secara Non Teknis
       Selain faktor teknis dalam usaha budidaya bandeng faktor non teknis pun perlu diperhatikan. Adapun persaratan secara non teknis sebagai berikut :
a.   Lokasi mudah dicapai dengan sarana transportasi terutama dengan kendaraan roda empat sehingga memudahkan dalam pengankutan.
b.   Lokasi dekat dengan tempat tinggal sehingga untuk kegiatan monitoring dan  penjagaan dapat dilakukan dengan mudah.
c.   Lokasih tidak mudah banjir.
d.   Lokasi tersebut mudah dalam memasarkan hasil produksi dan mudah dalam memperoleh tenaga kerja sehingga meghemat biaya produksi sekaligus membuka peluang/kespatan kerja.
e.   Bukan daerah kawasan industri dan perumahan padat.
f.    Tidak mengaggu lahan dan pengguna lahan sekitarnya.
(Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).
2.3. Sarana dan Prasarana
       Sarana dan prasarana adalah sesuatu yang dapat menunjang kagiatan produksi adapun sarana dan prasarana yang perlu dilengkapi sebagai berikut :
2.3.1. Sarana Pokok
       Sarana pokok yang dimanfaatkan langsung dalam pengelolaan indyk bandeng ini adalah bak penanpunagan air, bak pemeliharaan induk, bak pemeliharaan telur, bak pemeliharaan larva dan Bak pemeliharaan pakan alami menurut (Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).
2.3.2. Sarana Penunjang / prasarana
       Untuk menunjang kegiatan pengelolaan induk sarana yang diperlukan adalah laboratorium pakan alami, laboratorium kering, ruang pengepakan, kendaraan angkautdan sumber listrik. Sedangkan perlengkapan penunjang dalam pengelolaan induk bandeng adalah generator, pompa udara, pompa air laut, pompa air tawar dan penganalisa air (Murtidjo, 2002).

2.4. Persiapan Pengelolaan Induk Bandeng
2.4.1. Persiapan Bak
       Sebelum digunakan bak dibersihkan dan dicuci dengan sabun serta disikat dengan sikat dinding kemudian bak dikeringkan selama 2 – 3 hari. Pembersihan bak juga bisa dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak dengan mengunakan kain yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10 % dalam 1 m3 air) dan didiamkan selama 1 – 2 jam selanjutnya bak dinetralisir dengan larutan Natrium thisulfat dengan dosis 40 ppm (Derektoret Bina Pembenihan Jendral Perikanan, 2010).
2.4.2. Pengadaan Induk
            Pengadaan induk merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi unit pembenihan bandeng. Indukkan bandeng yang potensial berusian 5 – 6 tahun, berat 4 kg dan panjang 0,5 – 0,6 m. Secara prinsip faktor usia lebih diprioritaskan daripada faktor panjang dan berat tubuh (Murtidjo, 2002). Indukan yang bagus iyalah indukan yang berwarna cerah, bersisik bersih tidak banyak terkelupas serta mampu berenag cepat (Rusmiyati, 2012).

2.4.3. Seleksi Induk
Untuk dapat melakukan seleksi, setidaknya harus memahami sistem reproduksi ikan bandeng. Di dalam sistem reproduksi, kelenjar biak atau gonada memiliki peran yang sangat penting. Untuk ikan bandeng betina, gonada disebut ovarium. Sedangkan untuk ikan bandeng jantan, gonoda disebut testes.
Adapun fase perkembangan ovarium induk jantan dan induk betina dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Fase pertumbuhan induk bandeng jantan dan betina.
Fase pertumbuhan
Jantan
Betina
1
2
3
1
Testes sangat kecil dan berwarna transparan sampai kelabu
Ovarium sangat kecil tidak berwarna abu- abu dan transparan
2
Testes jernih dan berwarna abu- abu sampai kemerahan
Ovarium jernih sampai abu-abu dan kemerahan, panjangnya setengah dari rongga bawah
3
Testes berbentuk bulat telur, berwarna kemerahan dan testes mengisi hampir setengah bagian rongga badan ventral
Ovarium sudah berbentuk bulat telur, berwarna kemerahan dan mengisi sekitar 50 % ruangan rongga bawah
4
Testes kemerahan sampai putih dan tidak keluar tetesan sperma jika perutnya di urut ke arah anus, mengisi 60% rongga tubuh bagian bawah.
Ovarium berwarna jingga kemerahan, telur sudah dapat dibedakan dengan jelas dan berbentuk bulat telur, serta sudah mengisi 60 % ruangan rongga bawah
5
Testes berwarna putih dan akan keluar tetesan sperma jika perutnya diurut

Ovarium sudah mengisi penuh ruangan rongga bawah dan telur berbentuk bulat dan jernih



1
2
3
6
Sperma keluar menetes sedikit jika perutnya tertekan pelan
Telur mudah keluar dengan sedikit tekanan pada perut, sebagian besar telur jernih dan hanya sebagian saja yang memiliki bentuk bulat telur
7
Testes sudah kosong sama sekali
Ovarium belum kosong sama sekali dan tidak ada telur yang memiliki bentuk bulat telur
8
Testes kosong berwarna kemerahan
Ovarium kosong, berwarna kemerahan, dan beberapa butir telur sedang di hisap kembali
9
Testes jernih dan berwarna abu- abu sampai merah
Ovarium jernih sampai abu- abu kemerahan
Sumber : Murtidjo (2002).

2.4.4. Pengangkutan Induk
       Pengangkutan induk bandeng memerlukan teknik tersendiri, karena induk bandeng sangat sensitif terhadap getaran dan cahaya atau sesuatu yang mendekati tubuhnya. Ada dua alternatif cara pengangkutan induk bandeng, yakni sebagai berikut.
a. Pengangkutan sistem terbuka
       Pengangkutan induk bandeng sistem terbuka dilakukan dengan menggunakan plastik pool yang memiliki volume 20 ton dan tinggi air sekitar 0,40 m, dalam pengangkutan system terbuka ini , salinitas yang digunakan adalah 15 permil, temperature 25 – 27 0C, dan penambahan oksigen.
       Untuk menjaga kestabilan temperatur air digunakan es balok sebanyak setangah bagian. Pengangkutan induk bandeng sebanyak 10 ekor dengan berat rata-rata 2 kg per ekor memerlukan es balok sebanyak 4 buah, 2 botol Gm oksigen, dan lama perjalanan 10 jam.


b. Pengangkutan dengan Obat Penenang
       Pengangkutan induk bandeng menggunakan obat atau bahan kimia bertujuan agar induk bandeng tidak banyak bergerak, lebih efisien dan memudahkan penanganan. Ada dua jenis bahan kimia yang umumnya digunakan sebagai anastesi, yaitu MA-222 dan Qunaldine MS-222 (tricaine methanosulonate).
Penggunaan bahan anastesi dilakukan dengan cara dicampur air dengan perbandingan 1 : 10.000 atau 1 g MS-222, dilarutkan dalam 10 liter air. Temperatur yang dikehendaki berkisar antara 20 – 35 0C. Untuk 10 ekor induk bandeng berukuran 5 kg per ekor dapat menggunakan anastesi sekaligus dalam larutan 100 liter air. Larutan MS-222 dapat digunakan secara efektif selama 24 jam dan setlah itu larutan tersebut harus diganti dengan yang baru.
Quenaldine atau chinaldin (2 - 4 methilchinolin) merupakan cairan toksik, maka penggunaan dan penanganannya harus dilakukan dengan hati-hati. Bahan ini umumnya digunakan pada induk bandeng yang berada dalam wadah yang bervolume besar, seperti tangki atau disudut kolam yang diberi jaring. Dosis yang dianjurkan adalah  1 : 40.000. Jika terlihat gerakan operculum ikan tidak normal, maka induk ikan harus segera dipindah ke dalam air yang segar (Murtidjo, 2002).

2.4.5. Aklimatisasi Induk
       Setelah sampai di Unit Pembenihan Bandeng, indukan bandeng tidak harus langsung dipelihara dalam bak pemeliharaan induk, tapi harus dimasukkan dalam bak aklimatisasi sebagai penyegaran dan penyesuaian lingkungan. Gangguan yang biasa terjadi pada induk bandeng yang baru didatangkan adalah gangguan penglihatan. Hal tersebut diketahui setelah induk bandeng berada dalam bak aklimatisasi. Biasanya berupa adanya warna opak pada bagian mata. Maka induk bandeng yang baru didatangkan ditampung dalam bak yang airnya mengalir dengan salinitas 15 permil. Salinitas perhari dinaikkan secara bertahap sampai mencapai 25 - 30 permil dengan watu aklimatisasi selama 7 - 10 hari (Murtidjo, 2002).

2.5. Pemeliharaan Induk
       Indukan bandeng yang sudah berada di dalam bak aklimatisasi selanjutnya dipelihara dalam bak pemeliharaan untuk dilakukan pemeriksaan dan pearawatan secara intensif. Di dalam bak pemeliharaan indukan harus diberi aerasi secara terus menerus. Jika tidak dilengkapi aerasi bak dapat dialiri air dengan sisitem sirkulasi air atau air mengalir sebanyak 100 % - 150 % dari volume air setiap harinya.
            Selama dalam pemeliharaan kualitas air harus diperhatikan dan terkontrol, untuk mengatasi menurunnya kualitas air maka perlu dilakukan penyiponan kotoran setiap pagi harinya (Murtidjo, 2002).

2.6. Pengelolaan Pakan Indukan
            Ikan bandeng tergolong ikan vegetaris (pemakan tumbu–tubuhan). Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor bandeng antara 5 % sampai 6 % dari berat tubuhnya per hari (Murtidjo, 2002).
            Kandungan pakan yang digunakan  berprotein sekitar 35% dan lemak 6-8% dengan frekuensi pemberian pakan 2 kali per hari yakni pagi sekiat jam 08:00 dan sore sekiat jam 16 : 00 pakan yang baik digunakan adalah pellet (Derektorat Jendral Budidaya Perikanan, 2010).
2.7. Pengelolaan Kualitaas Air
2.7.1. Pergantian Air
       Air merupakan faktor penentu yang daya dukung tambak. Jika mutu air baik, daya dukung tambak akan semakin tinggi. Sebaliknya, jika mutu air rendah maka daya dukungnya pun rendah. Untuk menjaga mutu air tambak, salah satu caranya adalah dengan pergantian air.
       Sebelum air diganti, kondisi air yang akan dimasukkan harus diamati dengan mengukur pH, oksigen, kecerahan, salinitas, dan kekeruhan. Jika kualitas air yang masuk bagus maka pergantian air tidak perlu sampai 20 %. Bila pergantian air lebih dari 10 %, maka pergantian air dilakukan dengan membuang air bawah sekaligus memasukkan air. Hal ini dapat mengurangi stres ada ikan budidaya dan dapat menghindari fluktuasi parameter kualitas air.
       Resiko yang diakibatkan oleh pergantian air dapat dikurangi dengan mengendapkan   air   dalam  reservoir  (tandon/petak  pengendapan)  minimal
12 jam. Bila air yang dimasukkan kedalam tambak disaat pergantian berasal dari pesisir, estuarin atau sungai, hendaknya kualitas air telah diketahui. Artinya, pengukuran kualitas air telah dilakukan sebelum air itu dimasukkan kedalam tambak (Murtidjo, 2002).

2.7.2. Parameter Kualitas Air
       Beberapa faktor mengenai parameter kualitas air yang harus diperhatikan pada budidaya bandeng antara lain oksigen terlarut, salinitas, suhu, warna, pH, serta senyawa beracun seperti amonia dan asam belerang yang berkaitan erat satu satu sama lain. Lingkungan yang baik bagi bandeng adalah bila faktor–faktor tersebut saling berpengaruh dalam keseimbangan dan pada kondisi konsentrasi optimal.
       Pengelolaan mutu air merupakan upaya untuk mempertahankan kondisi air tetap optimal bagi usaha budidaya bandeng intensif. Oleh karena itu harus diselaraskan dengan jumlah bahan seperti pakan, pupuk, dan pestisida yang ditambahkan serta jumlah ikan yang ditebarkan adapun kualitas air adalah sebagai berikut :
1. Kecerahan
       Kecerahan mencerminkan jumlah individu plankton yaitu jasad renik yang melayang dan selalu mengikuti pergerakan air. Plankton yang mengandung klorofil dan mampu melakukan fotosintesis disebut fitoplankton, sedangkan plankton   yang     memakan    fitoplankton    karena  tidak   mampu     melakukan
fotosintesis disebut    zooplankton.  Fitoplankton   terdiri    dari    berbagai     jenis       yang masing–masing berlainan warna yang biasanya tampak sebagai warna air. Warna air hijau muda biasa didominasi Chlorophyta. Warna air hijau kecoklatan mencerminkan dominasi diatomae dari klas Bacillariophyta, sedangkan Dinoflagellata memberikan warna coklat kemerahan pada air. Warna air hijau muda dan coklat muda biasanya lebih baik bagi bandeng dari pada warna air lain karena mengandung banyak Diatomae dan Chlorophyta.
       Dominasi plankton bisa ditentukan oleh perbandingan nitrogen dan fosfor serta salinitas. Semua plankton jadi berbahaya kalau kecerahan sudah kurang dari 25 cm kedalaman pinggan secchi disk. Cara pengukurannya , lingkaran tripleks berdiameter 30 cm di cat hitam–putih berselang seling dalam kuadran serta diberi pemberat supaya dapat tenggelam dan dapat dilengkapi tali atau tangkai untuk mengukur kedalaman pada saat pinggan hilang dari pandangan. Kecerahan yang baik bagi usaha budidaya ikan berkisar antara 30 – 40 cm yang diukur menggunakan pinggan secchi disk. Bila kecerahan sudah mencapai kedalam kurang dari 25 cm, pergantian air sebaiknya segera dilakukan sebelum fitoplankton mati berturutan yang diikuti penurunan oksigen terlarut secara drastis.
2. Derajat Keasaman
       Air laut biasanya bersifat alkalis dengan pH lebih dari 7 karena banyak mengandung garam yang bersifat alkalis. Air yang banyak mengandung CO2 biasanya mempunyai pH lebih rendah dari 7 dan bersifat masam. Derajat kemasaman (pH) air sebesar 6,5 – 9,0 sangat memadai bagi budidaya ikan. Dalam keadaan normal, pH air tambak terletak antara 7,0 – 9,0. Namun, pada keadaan tertentu, kalau tanah dasar tambak memiliki potensi kemasaman, pH air tambak dapat turun mencapai lebih rendah dari 4.
       Kapur dapat digunakan untuk menaikkan pH. Namun, tanah yang mengandung pirit memerlukan kapur yang sangat banyak sehingga tidak tepat. Biasanya kapur yang sudah ditambahkan tercuci pada waktu pergantian air dan kemasaman air mucul kembali. Untuk itu, salah satu cara mengatasi kemasaman air dengan cara melakukan reklamasi.
       Reklamasi tanah tambak memungkinkan proses pengeringan dan pencucian tanah dasar tambak. Tahap pertama reklamasi adalah penggalian lokasi sehingga air dapat dimanfaatkan untuk perendaman dan pencucian. Perendaman tanah yang sudah di gali pada proses reklamasi dilakukan setelah satu minggu pengeringan dan diikuti dengan pencucia setiap hari selama pasang naik pada bulan pertama. Pengeringan dilakukan selama pasang surut setiap bulan. Perendaman dan pencucian dilakukan terus menerus selama minggu bulan kedua. Pada minggu ketiga bulan kedua dan minggu pertama serta ketiga dalam bulan ketiga, perendaman dilakukan selam satu minggu dan diikuti dengan pencucian.
3. Suhu
       Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dalam air dan laju konsumsi oksigen hewan air. Suhu air berbanding terbalik dengan konsentrasi jenuh oksigen terlarut, tetapi berbanding lurus dengan laju konsumsi oksigen hewan air dan laju reaksu kimia dalam air. Berdasarkan pengamatan di Instalansi Tambak Percobaan Marana (Sulawesi Selatan), ikan bandeng masih hidup normal pada suhu 35 oC. Secar teoritis, ikan tropis masih hidup normal pada kisaran suhu 30 - 35 oC kalau konsentrasi oksigen terlarut cukup tinggi.
       Suhu air optimal bagi ikan terletak antara 28 - 30 oC. Pada kisaran tersebut, konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh jam. Di bawah suhu 25 oC, konsumsi konsumsi oksigen mencapai 2,2 mg/g berat tubuh-jam. Pada suhu 18  - 25 oC, ikan masih bertahn hidup, tetapi nafsu makan mulai menurun. Suhu air 12 - 18 oC mulai berbahaya bagi ikan, sedangkan pada suhu di bawah 12 oC ikan tropis mati kedinginan.
       Pergantian air atau pencampuran air merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh suhu tinggi. Suhu air tambak cenderung lebih tinggi dari suhu air laut akibat perbedaan volume. Pergantian air yang diupayakan untuk pengenceran metabolit sekaligus dapat mempengaruhi suhu tinggi. Secara tradisional, petambak bisa membuat caren (bagian tambak di sekeliling pematang) yang lebih dalam dari pelataran (bagian tengah tambak) untuk tempat udang atau tempat berlindung ikan dari suhu tinggi.
4. Salinitas
       Ikan bandeng mampu menyesuaikan diri terhadap salinitas air, sehingga dapat hidup di air tawar (salinitas antara 0 - 5 ppt) maupun air asin (salinitas > 30 ppt). Namun karena ikan bandeng dibudidayakan untuk tujuan komersial maka rentan salinitas optimal perlu dipertahankan. Pada rentan salinitas optimal (20 - 25 ppt), ganggang-ganggang dasar (klekap) yang menjadi makanan alami bagi ikan bandeng dapat tumbuh dengan baik, sehingga dapat mengurangi biaya pembelian pakan (Taufik, Erna Ratnawati, dan M. Jamil R. Yakob, 2009).

2.8. Pengendalian Hama Penyakit
       Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, parasit, virus, dan jamur yang disebabkan lingkungan tambak yang buruk, dan terjadinya penurunan daya tahan dari tubuh ikan bandeng yang dipelihara.
       Penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme yang penting dan sering menyerang ikan bandeng diantaranya adalah:
1.   Pembusukan sirip, biasanya disebabkan oleh serangan bakteri. Gejala yang timbul adalah terjadinya pembusukan sirip dari bagian tepi.
2.   Vibriosis, umumnya disebabkan oleh bakteri Vibriosis sp, dengan gejala yang timbul adalah berkurangnya nafsu makan ikan bandeng yang dipelihara, terjadinya pembusukan sirip, dan bagian perut ikan membengkak karena banyak mengandung cairan.
3.   Penyakit oleh protozoa, dengan gejala berkurangnya nafsu makan, mata menjadi buta, sisik banyak yang terkelupas, insang rusak, serta banyak mengeluarkan lendir.
4.   Penyakit oleh cacing renik. Cacing renik dapat menyebabkan penyakit dengan gejala yang spesifik. Ikan bandeng sering diserang oleh cacing Diploctanum, terutama bagian insang, sehingga menjadi pucat dan banyak mengeluarkan lendir.
       Cara pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan pemberian obat–obatan yang mengandung unsur mineral dan asam–asam organik penting yang mampu menetralkan berbagai gas berbahaya hasil pembusukan kotoran dalam  tambak serta unsur mineral yang dapat menyuburkan plankton sebagai pakan alami.
       Faktor kedua adalah mencukupi kebutuhan nutrisi dalam jumlah yang ideal, yaitu ikan bandeng yang sedang dipelihara harus diberi pakan dengan kandungan protein yang sesuai, serta dapat pula ditambah atau dicampur dengan konsentrat pada pakan buatan (Prahasta, 2008).



2.9. Pematang Gonad
       Kematangan gonad induk dapat dipercepat  dengan mengunakan hormon LHRH (Letuizing Hormon Releasing Hormon) atau Metil Testoteron. Pengunaan hormon dilakukan dengan cara dikemas dalam bentuk pelet yang disuntukan setiap 1 bulan sekali dengan mengunakan alat suntik yang disebut impleter.
            Penyuntikan induk bandeng dilakukan setelah indukan bandeng dibius sehingga penyuntikan dapat dilakukan dengan mudah. Adapun penyuntikan induk bandeng dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.   Induk bandeng diletakan di atas bantalan busa
2.   Lendir yang melapisi bagian punggung sebelah kanan induk bandeng dibersikan
3.   Salah satu sisik dilepas dengan mengunakan pisau kecil, kemudian pisau ditusukkan sedikait untuk membuat lubang tempat penenpelan pellet hormon.
4.   Pellet hormon dimasukkan dengan mengunakan bantuan alat implanter
5.   Indukan yang sudah disuntik segera dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan induk
       Penyuntikan pellet hormon pada induk bandeng sebaiknya dilakukan secara rutin sebulan sekali sampai induk bandeng dapat memijah secara alami dalam bak. Pelet hormon mempunyai kemampuan kerja selama 1 bulan. Jika indukkan bandeng sudah dapat memijah maka penyuntikan bisa dihentikan.
       Adapun mekanisme kerja hormon di dalam tubuh induk bandeng adalah sebagai perangsang kelenjar pituitary untuk menghasilkan Gonadotropin yang akan merangsang pematang gonatan indukan bandeng.
Untuk dosis yang dianjurkan adalah 30 – 50 ug/kg berat indukan. Indukan yang disuntik akan memijah setelah 18 jam kemudian (Murtidjo, 2002).


2.10. Pemijahan
       Pemijahan bandeng yang dilakukan dapat secara alami maupun buatan.
Pemijahan alami adalah pemijan yang dilakukan dengan memasukan indukan jantan dan betina dalam 1 bak dengan kedalaman 1,5 – 3,0 meter yang berbentuk bulat dengan kepadatan 2 – 4 m3 air per indukkan dengan sistem aerasi kuat. Untuk pergantian air dilakukan setiap hati sebanyak 150%.
       Pemijahan buatan adalah pemijahan ini dilakukan melalui rangsangan hormonal. Hormon yang bisa digunakan antara lain hormon LHRH (Letuizing Hormon Releasing Hormon) atau Metil Testoteron. Dengan dosis  30 - 50 ug/kg berat indukan. Pemberian hormon dilakukan melalui pellet hormon (Derektorat Jendral Perikanan Budidaya, 2010).
2.11. Pemanenan dan Penetasan Telur
       Telur ikan bandeng yang telah dibuai berwarna trasparan mengapung pada salinitas > 30 ppt. Sedangkan yang tidak berbuai berwarna putih keruh dan tengelam. Telur yang dibuai kemudian dipanen dan diinkubasi dengan aerasi hingga telur pada tingkat embrio. Selanjutnya aerasi dihentikan dan telur dipindahkan untuk telur yang mengapung dipindahkan secara hati – hati kedalam bak penetasan / peraawatan larva. Kepadatan yang ideal dalam bak penetasan antara 20 – 30 butir perl iter. Masa keritis telur terjadi antara 4 – 8 jam setelah pembuaihan. Setelah telur dipanen telur didesinfeksi mengunakan larutan formalin 40 % selama 10 – 15 menit untuk menghindari bakteri dan parasit (Murtidjo, 2002).
       Telur akan menetas setelah 24 – 26 jam dari awal pemijahan. Penetasan telur ditandai dengan banyaknya lapisan minyak di permukaan dan adanya pengendapan cangkang telur ataupun telur yang tidak menetas (Rusmiyati, 2012).

III. METODELOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapang VI
       Kegiatan Praktek Kerja Lapang VI ini dilaksanakan dari tanggal 8 sampai dengan 21 Oktober 2012, di Unit Pembenihan CV. Dwi Jaya  Desa Sanggalangit Kecamatan Gerogak Kabupaten Buleleng Provinsi Bali.
3.2. Metode Pelaksanaan Praktek Kerja Lapang VI
       Dalam kegiatan Praktek Kerja Lapang ini, untuk memperoleh       pengetahuan tentang pengelolaan induk bandeng dilakukan dengan metode survei.
       Metode survei adalah suatu penyelidikan yang dilakukan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dalam mencari keterangan secara faktual. Metode survei ini digunakn untuk menigkatkan pengetahuan (Nazir, 1999).
       Sedangkan untuk menigkatkan keterampilan di lapangan digunakan metode magang. Metode magang yaitu proses belajar dimana seseorang memperoleh dan menguasai keterampilan dengan cara melibatkan diri dalam proses pekerjaan dengan petunjuk orang yang sudah trampil dalam suatu pekerjaan (Lomban J, 2000).
3.3. Jenis Data
       Berdasarkan data yang diambil dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder (Suryabrata, 2006). Adapun pengertian data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut :
a.   Data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumbernya yang meliputi :
1.  Proses persiapan kolam
2.  Pengadaan induk
         a. seleksi iduk
         b. perawatan induk yang baik
      3.Tata letak fasilitas hatchery
   a.  Jarak fasilitas hatchery dengan fasilitas lainnya
         b.  Peralatan yang digunakan dalam proses pengelolaan induk
       4. Tenaga kerja
           a. Jumlah pegawai
           c. Jenis kelamin
b. Data sekunder yaitu data yang biasanya tersusun dalam bentuk dokumen dokumen atau data yang dikumpulkan secara tidak langsung dari sumbernya. Adapun data sekunder yang dibutuhkan antara lain :
1.   Lokasi Hatchery
2.   Struktur Organisasi Hatchery
3.   Ketenagakerjaan

3.4. Teknik Pengumpulan Data
       Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam pelaksanaan Praktek Kerja Lapang VI yaitu mengunakan metode observasi (pengamatan) yaitu mengumpulkan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diamati dengan menggunakan perangkat observasi.
       Sedangkan untuk memperoleh data yang sifatnya tidak langsung mengunakan metode Wawancara  atau proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dilakukan oleh dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan (Narbuko dan Achmadi, 2005).


3.5. Teknik Pengololaan Data dan Analisa Data
       Data yang diperoleh kemudian diolah dengan mengunakan editing atau kegiatan memeriksa data yang telah terkumpul untuk mengetahui apakah semua data sudah sesuai dengan yang diharapkan.
       Setelah data terkumpul kemudian data diolah dengan teknik Tabulating atau kegiatan menyajikan data dalam bentuk tabel untuk mempermudah analisa data  (Narbuko dan Achmadi, 2005).
3.5.1. Analisa Data Teknik
       Analisa data teknik yaitu dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari lapangan dengan data yang terdapat pada litelatur. Adapun data teknik yang akan diambil meliputi :
Tabel 3 : Analisa data teknik


Data yang diperoleh
Keterangan
No
Uraian
Primer
Sekunder
1
2
3
4
1
Keadaan umum unit usaha
a. Keadaan unit usaha
    - Kepemilikan unit usaha
    - Sarana dan prasarana
    - Keadaan kolam
    - Jumlah kolam
    - Ukuran kolam
    - Alat-alat yang digunakan
    - Luas lahan
b. Teanaga Kerja
    - Jumlah tenaga kerja
    - Tingkat Pendidikan
c. Sejarah unit usaha




ΓΌ   


ΓΌ   




ΓΌ   



ΓΌ   






1
2
3
4
5
2
Persiapan pengelolaan induk :
a. Persiapan bak
b. Pengadaan induk
c. Seleksi induk
d.Pengangkutan induk
e. Aklimitasi induk

ΓΌ   



ΓΌ   


3
Pemeliharaan induk
a. Jumlah induk jantan dan
    betina
b. Perlakuan induk
c. Pengelolaan pakan
   - Frekuensi pakan
   - Cara pemberian
   - Waktu pemberian pakan
   - Jenis pakan
   - Kandungan pakan
ΓΌ   






ΓΌ   
ΓΌ   
ΓΌ   


4
Pematangan gonad
a. Cara pematangan gonad
b. Perlakuan
ΓΌ   


5
Pengelolaan kualitas air
a. Cara mengelola kualitas
    air
b. Alat yang digunakan
ΓΌ   


6
Pengendalian hama dan penyakit
a. Cara mengatasi penyakit
b. Cara peneggulangan
c. Pengobatan ikan yang
   terserang penyakit
d. Waktu pengobatan
e. Alat-alat yang digunakan
f. Jenis hama dan penyakit
   yang sering menyerang

ΓΌ   
ΓΌ   
ΓΌ    



ΓΌ   


1
2
3
4
5
7
Panen dan penetasan telur
a. Waktu pemanenan
b. Cara pemanenan
c. Alat-alat yang digunakan
d. Cara penetasan telur

ΓΌ   





DAFTAR PUSTAKA

Derektorat Jendral Perikanan Budidaya. 2010. Budidaya Bandeng. Jakarta.
Deroktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2010. Pembenihan Bandeng. Jakarta.
(23 September 2012)

Kordi dan Ghufron. 2005. Budidaya Ikan Laut. Rineka Cipta.  Jakarta.
Lomban, J .2000. Sistem Magang Dalam Pengembagan Perajin Kerawang. http://repository.upi.edu/operator/upload/chapther2 ( 15 Mei 2012).
Murtidjo, B. 2002. Bandeng. Kaniskus. Yohyakarta
Narbuko,  A dan Achmadi, A. 2001. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Rumiyati, S. 2012. Budidaya Bandeng Super. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.
Suryabrata, S. 2006. Metodelogi Penelitian.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.